KEBIJAKAN PEMBANGUNAN DAN KESENJANGAN EKONOMI ANTAR WILAYAH

BAB I

PENDAHULUAN

Pembangunan ekonomi merupakan upaya yang dilakukan negara untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat di seluruh wilayah Indonesia. Selama kurun waktu yang cukup panjang, pembangunan nasional telah menghasilkan berbagai kemajuan yang cukup berarti, namun sekaligus juga mewariskan berbagai permasalahan yang mendesak untuk ditangani, diantaranya masih terdapatnya disparitas atau ketimpangan antar daerah. Kebijakan dan strategi pembangunan ekonomi di masa lalu telah mengubah struktur ekonomi secara mengesankan dan mencapai tingkat pertumbuhan ekonomi yang cukup tinggi. Namun, perubahan struktur ekonomi ini hanya terjadi pada tingkat nasional, sedangkan pada tingkat daerah secara agregat relatif stagnan, terutama daerah-daerah di luar pulau Jawa. Ini berarti bahwa peranan dan partisipasi daerah dalam pembangunan ekonomi nasional belum optimal.

Selama ini strategi pembangunan yang diterapkan Indonesia telah berhasil mengubah struktur ekonomi, dari struktur yang semula didominasi oleh sektor pertanian menjadi struktur ekonomi yang didominasi oleh sektor industri manufaktur. Seiring dengan itu, laju pertumbuhan ekonomi Indonesia juga mencapai tingkat yang cukup tinggi. Namun demikian perubahan struktur ekonomi dan tingginya tingkat pertumbuhan ekonomi yang dicapai Indonesia pada masa lalu hanya terjadi pada level nasional, sedangkan pada level daerah tidak semua daerah memperoleh manfaat dari strategi tersebut. Sebab telah terjadi disparitas, terutama daerah-daerah di luar pulau Jawa. Bahkan strategi yang diterapkan tersebut secara bertahap telah memperlebar kesenjangan ekonomi antara pulau Jawa dengan pulau-pulau besar lainnya, antar provinsi dan antar kabupaten.

Masalah klasik dan mendasar terjadinya ketimpangan ekonomi tersebut potensi ekonomi yang tidak sama. Ada beberapa wilayah atau provinsi yang memiliki berbagai sumber daya alam berlimpah, tidak akan mengalamipermasalahan dalam membangun kegiatan ekonomi sebagai pusat perumbuhan, Namun, tidak dapat dipungkiri, masih banyak wilayah selain tidak memiliki SDA, dan kondisi lahannya banyak kering. Namun demikian, adanya wilayah yang tidak didukung kondisi alam yang memadai untuk kegiatan pertanian, namun memiliki posisi startegis dan memperoleh bantuan secara maksimal dari pemerintah pusat untuk dibentuk sebuah kawasan industri sebagai pusat pertumbuhan ekonomi (growth pole).

Ketimpangan atau kesenjangan pembangunan antar wilayah terutama terjadi antara perdesaan dan perkotaan, antara Pulau Jawa dan luar Jawa, antara antara pusat-pusat pertumbuhan dengan kawasan hinterland dan kawasan perbatasan, serta antara Kawasan Barat Indonesia dan Kawasan Timur Indonesia.

BAB II

KONSEP DAN INDIKATOR

KETIMPANGAN EKONOMI

  1. Ketimpangan Antar Wilayah

Salah satu upaya negara untuk mengurangi ketimpangan antar daerah/wilayah tentunya melalui pemerataan pembangunan pada daerah-daerah. Pembangunan regional merupakan bagian integral dalam pembangunan nasional Dengan demikian diharapkan hasil pembangunan akan dapat terdistribusi dan teralokasi ke tingkat regional. Dalam mencapai keseimbangan pembangunan antar wilayah, terutama dalam pembangunan ekonominya, dibutuhkan beberapa kebijakan dan program pembangunan daerah yang mengacu pada kebijakan regionalisasi atau perwilayahan.

Pembangunan adalah proses natural mewujudkan cita-cita bernegara, yaitu terwujudnya masyarakat makmur sejahtera secara adil dan merata. Kesejahteraan ditandai dengan kemakmuran yaitu meningkatnya konsumsi disebabkan meningkatnya pendapatan (Sumodiningrat, 2001:13)[1]. Hal senada disampaikan oleh Todaro (1994:15)[2] bahwa pembangunan adalah proses multidimensional yang melibatkan perubahan-perubahan mendasar dalam struktur sosial, perilaku sosial, dan institusi nasional, disamping akselerasi pertumbuhan ekonomi, pengurangan ketidakmerataan, dan pemberantasan kemiskinan.

Masalah ketimpangan dan kemiskinan, telah dibahas dalam banyak tulisan mengenai hubungan antara penanggulangan kemiskinan dan pertumbuhan ekonomi, yang dalam beberapa tahun terakhir ini memunculkan istilah “pertumbuhan yang berpihak pada kaum miskin” dan pro-poor budget Ketimpangan memainkan peran yang besar dalam hubungan antara kemiskinan dan pertumbuhan karena ketimpangan mempengaruhi baik pertumbuhan maupun kemiskinan.

Kebijakan otonomi daerah melalui pelaksanaan desentarlisai kekuasaan dan fiskal merupakan salah satu upaya yang tepat untuk menggali sumber-sumber pendapatan yang potensial, walupun diakui bahwa ada perbedaan-perbedaan potensi antara daerah yang disebabkan oleh sumber daya alam, terbatasnya sarana dan prasarana, perbedaan kesuburan tanah maupun perbedaan kondisi daerah secara geografis. Hal ini tentunya akan mengakibatkan perbedaan dalam tingkat kemakmuran masyarakat pada wilayah tersebut. Karena itu sangat dibutuhkan metode yang tepat untuk pengembangan kota-kota dan wilayah agar tercapai pemerataan pembangunan dalam rangka pengurangan kemiskinan pada wilayah tertentu.

Pembangunan ekonomi adalah suatu proses di mana pemerintah daerah dan masyarakatnya mengelola sumberdaya-sumberdaya yang ada dan membentuk suatu pola kemitraan antara pemerintah daerah dengan sektor swasta untuk menciptakan suatu lapangan kerja baru dan merangsang perkembangan kegiatan ekonomi (pertumbuhan ekonomi) dalam wilayah tersebut (Arsyad, 2005:108)[3].

Todaro (1994:15)[4] mendefenisikan pembangunan ekonomi sebagai upaya untuk mengurangi kemiskinan, ketidakmerataan dan pengangguran dalam kerangka pembangunan ekonomi. Dalam kerangka tersebut, Todaro melihat bahwa pembangunan adalah proses multidimensional yang melibatkan perubahan- perubahan mendasar dalam struktur sosial dan institusi nasional, disamping akselerasi pertumbuhan ekonomi, pengurangan ketidakmerataan dan pemberantasan kemiskinan.

Sementara itu dalam kerangka yang lebih empiris, dua teori besar yang mewarnai pelaksanaan pembangunan di banyak negara berkembang pasca perang dunia II adalah adalah teori Rostow mengenai tahap-tahap pertumbuhan (stages of growth) dan teori Harrod-Domar tentang pertumbuhan ekonomi (Todaro, 1994:69).

Rostow yang mengajukan lima tahap pertumbuhan dalam pembangunan ekonomi, memandang bahwa tingkatan kritis bagi negara berkembang adalah tahap tinggal landas, dimana masyarakat suatu negara berkembang akan mengalami transformasi menuju masyarakat yang maju. Selanjutnya Rostow berpendapat bahwa salah satu prinsip yang perlu dilaksanakan dalam tahapan ini adalah mobilisasi tabungan domestik dan luar negeri agar dapat menghasilkan investasi yang cukup bagi peningkatan pertumbuhan ekonomi (Todaro, 1994:70)

  1. Ketimpangan Distribusi Pendapatan

Disparitas pembangunan regional merupakan fenomena universal. Di semua negara tanpa memandang ukuran dan tingkat pembangunannya, disparitas pembangunan merupakan masalah antar wilayah yang tidak merata. Disparitas ini pada akhirnya menimbulkan permasalahan yang dalam konteks makro sangat merugikan proses pembangunan yang ingin dicapai setiap bangsa. Ketidakseimbangan pembangunan menghasilkan struktur hubungan antar wilayah yang membentuk suatu interaksi yang saling memperlemah. Wilayah/kawasan hinterland menjadi lemah karena pengurasan sumberdaya yang berlebihan (backwash) yang mengakibatkan aliran bersih dan akumulasi nilai tambah di pusat-pusat pembangunan secara masif dan berlebihan.

Profesor Gunnar Myrdal dalam Jhingan (1996:268)[5]berpendapat bahwa pembangunan ekonomi menghasilkan suatu proses sebab menyebab sirkuler yang membuat si kaya mendapat keuntungan semakin banyak dan mereka yang tertinggal di belakang menjadi semakin terhambat. Dampak balik (backwash effect) cenderung membesar dan dampak sebar (spread effect) cenderung mengecil. Secara kumulatif kecenderungan ini semakin memperburuk ketimpangan internasional dan menyebabkan ketimpangan regional di antara negara-negara terbelakang. Menurut Lay (1993:53)[6] indikator ekonomi ketidakmerataan wilayah adalah tingkat kesejahteraan penduduk, kualitas pendidikan, pola penyebaran dan konsentrasi investasi dan ketersediaan sarana prasarana. Jadi berdasarkan pernyataan Lay diatas dapat ditarik kesimpulan bahwa indikator ketidakmerataan itu terbagi atas:

Fisik: Ketersediaan sarana sosial ekonomi seperti sarana kesehatan, pendidikan dan sarana perekonomian.

Ekonomi: Kemampuan ekonomi penduduk yang terlihat dari tingkat kesejahteraan keluarga pada masing-masing kecamatan.

Sosial: Jumlah penduduk dan kualitas penduduk berdasarkan pendidikan.

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

BAB III

STRUKTUR EKONOMI DAN KETIMPANGAN

ANTAR DAERAH DI INDONESIA

  1. Kondisi Perekonomian Indonesia

Secara ringkas22 pertumbuhan ekonomi Indonesia bervariasi. Pada kurun waktu 1968-1982, rata-rata pertumbuhannya berkisar 7.65% per tahun. Ketika terjadi external shocks (OPEC Oil Price Shock 1979/1980) rata-rata pertumbuhan ekonomi Indonesia turun menjadi 4.5%. Indonesia pulih kembali di penghujung 1980an. Periode 1989- 1993, pertumbuhan ekonomi sekitar 7%. Pada 1994-1996 menjadi 7.9% per tahun. Sesaat setelah krisis moneter, pertumbuhan ekonomi Indonesia kolaps hingga -13.1%. Tahun-tahun selanjutnya meski positif, pertumbuhan relatif rendah dibanding sebelum krisis, hanya mencapai 5% selama 2000-2010. Pengalaman ini tentu harus dicari hikmahnya agar pertumbuhan ekonomi Indonesia dapat lebih tinggi, berkualitas dan mampu membawa kemakmuran rakyat secara merata.

Sedangkan pada Tahun 2011 adalah tahun tantangan bagi perekonomian Indonesia. Ekonomi global 2010 dan 2011 masih melambat (IMF,2010.) Beberapa lembaga lain memprediksi pertumbuhan ekonomi Indonesia pada tahun 2010 dan 2011 dengan berbeda, seperti ADB 6,1% pada 2010 dan 6,3% pada 2011, Bank Dunia (6,0% dan 6,2%), IMF (6,0% dan 6,2%), Standart Chartered (6,0% dan 6,2%), Danamon (6,0% dan 6,4%) serta APBN (5,8% dan 6,4%). Secara sektoral, dalam periode 10 tahun terakhir, kontributor terbesar PDB adalah Industri pengolahan hingga akhir 2009 mencapai 26.4%. Proyeksi 2011 diperkirakan 26.6%. Industri pengolahan seperti migas; peralatan transportasi; makanan, rokok, dan pupuk; produksi kimia, tekstil, produk kulit dan alas kaki, yang menggunakan padat modal dan teknomogi tinggi. Sektor kontributor terkecil adalah listrik, gas, dan air bersih. Sektor pengangkutan dan komunikasi 0.8% dan 6.3% di 2009 diproyeksi sama terjadi di tahun 2011.

Sektor pertanian terus menurun di tahun 2009 (15,3%) dan diperkirakan sama pada 2011. Sektor pertambangan dan penggalian porsinya menurun hingga 10.5% pada 2009. Sumber ini bersifat unrenewable. Mengubah struktur sektoral sehingga Indonesia menjadi negara modern memerlukan perhatian serius dari pengambil kebijakan. Secara nasional laju pertumbuhan PDB 2000-2009 cenderung meningkat tapi per sektor perubahannya bervariasi. Selama periode ini pertumbuhan tertinggi terlihat pada sektor transportasi dan komunikasi sebesar 17.1% diikuti listrik, gas dan air 14.7%, jasa 7.4% dan industri konstruksi 6.4%.23[7]

Kita ketahui bahwa sebagaian besar penduduk Indonesia masih bergerak pada sektor pertanian, walaupun demikian masih saja masyarakatnya banyak yang berada dalam kemiskinan. Sektor pertanian pertumbuhannya fluktuatif rata-rata 4%, walau sektor ini menampung lebih 40% tenaga kerja. Sejak krisis moneter 1998, jumlah penduduk bekerja di sektor pertanian meningkat mencapai hampir 50% tahun 2002. Di Februari 2010, pekerja sektor pertanian 42.83%. Transformasi perekonomian dari sektor primer ke industri dan jasa belum berhasil, karena penyerapan tenaga kerja meningkat di sektor pertanian.

  1. Stuktur Perekonomian

Strategi yang ditempuh Indonesia pada awal pemerintahan orde baru melalui pengembangan industri manufaktur untuk kebutuhan pasar domestik dan melindungi barang-barang hasil produksi dalam negeri dengan berbagai kebijakan. Indonesia termasuk salah satu negara yang mengadopsi strategi ini. Strategi industrialisasi substitusi impor (ISI) yang diterapkan oleh pemerintahan Orde Baru terpusat pada pulau Jawa. Hal ini dapat dilihat dari sebaran industri manufaktur, dimana lebih dari 80% industri manufaktur Indonesia berlokasi di pulau Jawa. Strategi industrialisasi substitusi impor ini diterapkan Indonesia hingga pertengan dekade 1980. Selama strategi ISI diterapkan Indonesia telah berhasil mengubah struktur ekonominya, dari struktur ekonomi yang semula didominasi oleh sektor pertanian menjadi struktur ekonomi yang didominasi oleh sektor industri manufaktur. Seiring dengan itu, laju pertumbuhan ekonomi Indonesia juga mencapai tingkat yang cukup tinggi Studi empirik yang berkaitan dengan interaksi ekonomi antar daerah di Indonesia, dilakukan oleh beberapa pihak dengan pembagian wilayah yang berbeda dan kurun waktu yang berbeda, namun menunjukkan fenomena kesenjangan ekonomi antar daerah di Indonesia yang serupa.

Secara umum, hasil studi empirik sebagaimana disebutkan di atas menunjukkan bahwa melebarnya kesenjangan ekonomi antar daerah antara lain bersumber dari hal-hal sebagai berikut:

Lebih dari 80% industri manufaktur yang didirikan di Indonesia berlokasi 1. di Jawa, sekitar 12 -13% di Sumatera, dan sisanya yang kurang dari 10% (antara 7–8%) berada di wilayah lainnya. Kontribusi nilai tambahnya kurang lebih sama dengan persentase sebaran industri tersebut;

Daerah-daerah Luar Jawa pada umumnya mengekspor produk-produk 2. primer ke Jawa dan mengimpor produk-produk sekunder dari Jawa, dimana nilai impor daerah Luar Jawa jauh lebih besar daripada nilai ekspornya. Hal yang demikian, membuat neraca perdagangan daerah-daerah Luar Jawa mengalami defisit terhadap neraca perdagangan Jawa. Ketimpangan neraca perdagangan ini menjadi semakin parah manakala harga relatif produk-produk primer semakin rendah terhadap produk-produk sekunder.

Kegiatan produksi sektor-sektor ekonomi di Luar Jawa sangat bergantung 3. pada input yang berasal dari Jawa, sedangkan sebaliknya tidak. Hal ini mengakibatkan efek multiplier yang diterima perekonomian Jawa atas kemajuan ekonomi daerah-daerah Luar Jawa sangat besar, sedangkan sebaliknya tidak. Dengan kata lain spillover effect yang ditimbuhkan oleh kemajuan ekonomi daerah-daerah Luar Jawa terhadap perekonomian Jawa jauh lebih besar daripada sebaliknya.

  1. Ketimpangan Antar Daerah

Pada aspek makro, Dumairy (1996)[8], menyatakan bahwa terdapat dua faktor yang layak dikemukakan untuk menerangkan mengapa ketimpangan pembangunan dan hasil-hasilnya dapat terjadi. Faktor pertama ialah karena ketidaksetaraan anugerah awal (initial endowment) diantara pelaku-pelaku ekonomi. Sedangkan faktor kedua karena strategi pembangunan yang tidak tepat cenderung berorientasi pada pertumbuhan, (growth). Perbedaan disebabkan oleh kualitas SDAyang dimiliki masing-masing daerah, ketidaksetaraan, serta adanya kesenjangan antara bekal “resources” yang dimiliki oleh para pelaku ekonomi yang meliputi, sumberdaya alam, kapital, keahlian/keterampilan, bakat/ potensi atau sarana dan prasarana.

Kesenjangan pembangunan antar wilayah merupakan sebuah kondisi yang dapat dilihat dari berbagai perbedaan tingkat kesejahteraan dan perkembangan ekonomi antar wilayah. Permasalahan kesenjangan dalam pembangunan masih didominasi oleh permasalahan kemiskinan, pendidikan dan kesehatan, serta rendahnya akses masyarakat perdesaan, wilayah terpencii , perbatasan dan wilayah tertinggal terhadap sarana dan prasarana sosial ekonomi Berdasarkan data kemiskinan (BPS,2007) persentase penduduk miskin tertinggi berada di Provinsi Papua sebesar 0,79% dan terendah berada di Provinsi DKI Jakarta sebesar, 0,61%, Kesenjangan antar rwilayah dalam pelayanan sosial dasar yang tersedia, seperti pendidikan, kesehatan, air bersih dan sanitasi juga masih sangat besar. Penduduk di Provinsi DKI Jakarta memiliki rata-rata lama sekolah 10,6 tahun, sedangkan penduduk di Sulawesi Barat baru mencapai 6,0 tahun. Terlepas dari perdebatan metodologi dan indikator yang digunakan—dari waktu ke waktu, pengurangan jumlah orang miskin di negeri ini tidaklah membanggakan. Data BPS per Maret 2007 menunjukkan adanya tren penurunan jumlah orang miskin (dengan standar pendapatan Rp. 166.697,-) yang bertengger di angka 37,17 juta jiwa, dibandingkan dengan data BPS per Maret 2006 dimana angka orang miskin (dengan standar pendapatan Rp. 151.997,-) berjumlah 17.8% atau 39.30 juta jiwa.31

Sementara data BPS per Maret 2008 lalu menunjukkan, adanya tren penurunan angka orang miskin sebesar 2,21 juta jiwa dibanding tahun 2007 yang berjumlah 37,17 juta jiwa. Namun, tren penurunan ini tidak serta merta bisa mengabaikan jumlah orang miskin yang masih besar di negeri ini, yakni mencapai 34,96 juta atau 15% dari total penduduk Indonesia. Sementara jumlah penduduk miskin di desa dan kota tidak mengalami banyak perubahan. Sebagian besar penduduk miskin sebanyak 63,47% berada di desa. Sekitar 70% penduduk miskin di daerah pedesaan bekerja di sektor pertanian.

Jumlah penduduk miskin di Indonesia pada Maret 2010 sebesar 31,02 juta orang (13,33%). Dibandingkan dengan penduduk miskin pada Maret 2009 yang berjumlah 32,53 juta (14,15%), berarti jumlah penduduk miskin berkurang 1,51 juta jiwa. Jumlah penduduk miskin di daerah perkotaan turun lebih besar daripada daerah perdesaan. Selama periode Maret 2009-Maret 2010[9], penduduk miskin di daerah perkotaan berkurang 0,81 juta orang, sementara di daerah perdesaan berkurang 0,69 juta orang (Tabel 2). Persentase penduduk miskin antara daerah perkotaan dan perdesaan tidak banyak berubah dari Maret 2009 ke Maret 2010. Pada Maret 2009, sebagian besar (63,38%) penduduk miskin berada di daerah perdesaan begitu juga pada Maret 2010, yaitu sebesar 64,23%.

  1. Upaya Yang Harus Dilakukan

Bertolak dari pembahasan di atas, maka solusi dalam mengatasi ketimpangan struktural ini adalah dengan perencanaan pembanguan ekonomi regional melalui membangun infrastruktur, jaringan tranportasi yang memadai, industri, dan pengembangan kawasan yang memiliki potensi-potensi sesuai dengan karakteristik wilayah dan daerah dengan mengandalkan produk-produk unggulan, yang samapai saat ini belum memperoleh hasil yang diharapkan. Padahal melalui kebijakan otonomi dan desentralisasi fiskal seharusnya mampu menciptakan perekonomomian daerah.

Tugas utama negara pada saat sekarang tentunya memilah-milah kondisi ketimpangan pada tiap-tiap daerah dengan diperlukan adanya imperative action (perintah aksi/kegiatan) dari pemerintah pusat untuk negara ini. Namun kebijaka ini harus didukung dengan meningkatkan melalui kelembagaan indeks pembangunan manusia provinsi (IPMP) agar kondii tersebut harus menjamin kualitas pelayanan. Sinergi program dan anggaran untuk meningkatkan kualitas promosi investasi daerah.

Negara dalam hal ini pemerintah pusat harus melaksanakan kebijakan-kebijakan bagaimana mengalihkan ekonomi dari daerah tertentu yang memilki tingkat pertumbuhan tinggi agar bisa menyebar secara merata ke daerah lain yang masih mengalami ketimpangan. Terutama daerah-daerah yang memilki SDA yang melimpah seharusnya merelakan sebagian penghasilannya untuk paling tidak dalam pembiayaan kebutuhan dasar daerah yang timpang dengan pembangunan infrastruktur, pendidikan dan kesehatan. Dengan kebijakan tersebut diharapkan dalam jangka waktu yang tidak terlalu lama ketimapngan antar wilayah dapat berkurang.

BAB IV

PENUTUP

Permasalahan besar yang masih dihadapi Indonesia hingga saat ini adalah terjadinya kesenjangan pembangunan ekonomi. Oleh karena itu, dalam upaya mengatasi masalah perekonomian pemerintah harus menyelesaikan permasalahan akarnya yaitu ketimpangan pembangunan dan perekonomian yang terjadi di wilayah Indonesia.

Hal ini dapat dilihat dari kenyataan bahwa pertumbuhan sektor industri yang cukup tinggi ternyata tidak memberikan dampak apapun bagi kesejahteraan masyarakat secara keseluruhan. Tentu saja untuk mengatasi masalah ketimpangan pendapatan tersebut tidak cukup hanya sebatas bantuan subsidi modal bagi kelompok miskin maupun peningkatan pendidikan (keterampilan) tenaga kerja di Indonesia. Lebih penting dari itu, harus diakui bahwa persoalan yang terjadi sesungguhnya adalah akibat kebijakan pembangunan ekonomi yang kurang tepat dan bersifat struktural. Maksud nya, kebijakan masa lalu yang begitu menyokong sektor industri dengan mengorbankan sektor lainnya perlu direvisi karena telah mendorong munculnya ketimpangan sektoral yang berujung pada kesenjangan pendapatan.

Dari perspektif ini agenda mendesak bagi Indonesia adalah memikirkan kembali secara serius model pembangunan ekonomi yang secara serentak bisa memajukan semua sektor dengan melibatkan seluruh rakyat. Sebagian besar ekonom meyakini bahwa strategi pembangunan itu adalah modernisasi pertanian dengan melibatkan sektor industri sebagai unit pengolahnya.

DAFTAR PUSTAKA

BUKU

Arsyad, Lincolin, 1999. Pengantar Perencanaan dan Pembangunan Ekonomi Daerah. (edisi pertama). Yogyakarta: BPFE-UGM.

Lay, Cornelis. 1993. Ketimpangan dan Keterbelakangan di Indonesia. Yogyakarta: Fakultas Ilmu-ilmu Sosial dan Politik UGM.

Sumodiningrat, Gunawan, 2001. Responsi Pemerintah Terhadap Kesenjangan Ekonomi – Studi Empiris Pada Kebijaksanaan dan Program Pembangunan Dalam Rangka Pemberdayaan Masyarakat Indonesia. Jakarta: PerPod.

Todaro, Michael P. 1994. Pembangunan Ekonomi di Dunia Ketiga. Jakarta: Erlangga.

JURNAL/ MAKALAH

Azis, Harry Azhar, 2011. “Ekonomi Indonesia dan Daerah 2011” Makalah pertemuan KAHMI Padang Pariaman, Sumatera Barat, 11 Maret 2011.

WEBSITE

http://www.bappenas.go.id/get-file-server/node/5658/ BAB 25 Pengurangan Kesenjangan Wilayah.

http://www.bappenas.go. go.id/get-file-server/node/8426/ Bab 26 Pengurangan Ketimpangan Pembangunan Wilayah.

[1] Gunawan Sumodiningrat, Responsi Pemerintah Terhadap Kesenjangan Ekonomi – Studi Empiris Pada Kebijaksanaan dan Program Pembangunan Dalam Rangka Pemberdayaan Masyarakat Indonesia. Jakarta: PerPod , 2001, hal 13

[2] Michael P Todaro, Pembangunan Ekonomi di Dunia Ketiga. Jakarta: Erlangga. 1994, hal 15

[3] Lincolin Arsyad,. Pengantar Perencanaan dan Pembangunan Ekonomi Daerah. (1st ed.). Yogyakarta: BPFE-UGM. Tahun 1999. hal 108

[4] Opcit ,Michael P Todaro, Hal 69

[5] M.L. Jhingan,. Ekonomi Pembangunan & Perencanaan. Edisi 16. Jakarta: Raja Grafindo Persada. 1996, hal 268

[6] Cornelis.Lay,. Ketimpangan dan Keterbelakangan di Indonesia. Yogyakarta: Fakultas Ilmu Politik dan Sosial UGM. 1993, hal 53

[7] Lihat DR. Harry Azhar Azis, MA, “Ekonomi Indonesia dan Daerah 2011” Makalah pertemuan KAHMI Padang Pariaman, Sumatera Barat, 11 Maret 2011.

[8] Dumairy, MA. “ Perekonomian Indonesia. Jakarta: Penerbit Erlangga 1996.

[9] Strategi Mengukur Ketimpangan Daerah, http://ojimori.com/strategi-mengukur-ketimpangan-daerah.html, diakses tanggal 23 Mei 2014

Tinggalkan komentar